Minggu, 29 April 2012


TUGAS BAHASA INDONESIA
KELOMPOK
XII IPA 2

ACHMAD ADI SETIAJI
MUTIARA YUSNITA
RIADHAH
SOFYAN NUR AMIN
TAMILIA SEPTIA SARI
YERRIO DARIUS RAOLIKA

Unsur-unsur Instrinsik dalam Cerpen
“Nasehat untuk Anakku”
Karya Motinggo Busye

  

A.  Analisis pendekatan mimetik cerpen “Nasehat untuk Anakku”

            Dalam cerpen Nasehat untuk Anakku karya Motinggo Busye, karakter yang digambarkan begitu natural, yaitu antara karakter ayah dan teman ayah. Karakter ayah menginginkan kehidupan anaknya menjadi lebih baik dan tidak mengikuti jejak sang ayah yang hanya seorang pengarang karena setiap orang tua pasti menginginkan anaknya menjadi lebih baik. Sedangkan karakter teman ayah digambarkan secara kompleks dan kehidupannya tercermin pada masyarakat sekarang ini pada umumnya. Kawan ayah dari sisi luar telihat sebagai sosok yang kuat karena mampu mengikuti kata hati walaupun pada saat itu orang-orang dekat menentang. Namun ternyata kawan ayah ini mengakhiri hidupnya dengan tangannya sendiri, padahal sangat jelas bahwa kawan ayah ini begitu meyakini keberadaan Tuhan. Tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh teman ayah sangat bertentangan dengan kenyataan yang dipaparkan tentang dirinya.
            Keadaan yang cenderung labil menyebabkan beberapa persoalan di masyarakat tertuang dalam cerpen ini, di antaranya ketika dialog sang ayah saat memeparkan alasan untuk membeli arloji.
            “Dengan menghitung waktu, orang tahu berapa jam lagi hari malam. Berapa jam lagi hari siang. Lama-lama ia pun tahu, berapa lama lagi ia akan bisa mempertahankan hidup,” kataku.
            Keadaan republik yang belum merdeka ternyata belum kondusif  karena pada saat itu, para pejabat tidak menjalankan tugas, masyarakat tidak bebas mengeluarkan pendapat, dan sumber daya alam yang tidak maksimal dikelola. Keadaan tersebut membuat masyarakat merasa tertekan walaupunmereka terlihat begitu tegar dan percaya pada Tuhan. Manusia pada masa itu banyak yang menyerah pada keadaan dan mengakhiri hidupnya sendiri. Hal ini tercantum dalam kutipan.
            "Buatku sendiri, kematiannya tak begitu menyedihkan, karena sudah lazim yang terjadi yang demikian di zamanku.”

B.  Unsur Instrinsik cerpen “Nasehat untuk Anakku”

  •      Tema   : Kegigihan dan Keikhlasan untuk Menjadi yang Lebih Baik


  •      Latar/ Setting


  •      Latar tempat : ~ dijalan; Ayah menunggu bis

                          ~ disebuah warung kopi; merayakan ulang tahun
                          ~ dipemakaman; dimana Ayah menguburkan                                  temannya

  •      Latar waktu   : ~ pagi hari hingga jam 2 siang, Ayah belum makan

                         ~ pagi, saat menguburkan teman Ayah
                          ~ malam jam 8, ketika teman Ayah bunuh diri
                          ~ tertanda tanggal dalam cerpen yakni tanggal 21                       ketika Ayah berulang tahun yang ke 25, dan Ayah                         menulis nasehat ini dalam buku hariannya

  •      Latar suasana            : ~ penuh sesak; ketika didalam sebuah bis

                          ~ gembira; pada hari ulang tahun Ayah
                          ~ bingung; ketika Ayah ditertawakan
                          ~ kaget; ketika teman Ayah bunuh diri
                          ~ selanjutnya merupakan alur cerita yang                                      mengesankan dan mengharukan

  •      Alur     : dalam cerpen ini alur yang digunakan adalah alur maju mundur      (campuran)

         Flashback (penceritaan zaman dahulu dan terkadang                                      menggambarkan waktu saat ini)

  •      Penokohan      : ~ Ayah: Sabar, menerima apa yang ada padanya dan                          bersyukur atas takdirnya, sosok Ayah yang sangat saying              pada anaknya, dan perhatian sarta pengertian.

                          ~ Teman Ayah: Awalnya dia sosok yang gigih, penuh                          semangat, tapi keadaan membuat dia putus asa dan bahkan                       bunuh diri (bdk. Lembaran kedua sampai ketiga pada cerpen)
                          ~ Redaktur: Pada lembar pertama jelas disebutkan bahwa                sifat dari Redaktur tempat Ayah mengirimkan karangan                            sangat baik hati
                          ~ Anak: Anak dalam cerpen ini tidak digambarkan bahkan                 tidak ikut berperan, karena cerpen ini menceritakan suatu                        pengalaman Ayah yang ingin diceritakan kepasa sang Anak

  •      Sudut pandang          : jika kita cermati penerangan tokoh didalam cerpen                            ini maka sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang orang pertama pelaku utama


  •      Amanat                       :  ~ Syukuri apa yang ada dan jalanilah takdirmu                                               dengan kegigihan dan ketabahan

                                                   ~ Jangan mudah berputus asa, lakukanlah apa yang                                       ingin kau kerjakan dengan kesungguhan hati
                                                 ~ Pilihlah pilihan hidup ini sesuai dengan kemampuan                                      pikiran dan tenaga kita, asalkan pilihan itu adalah pilihan yang benar, tidak merugikan masa depan mu   dan masa depan banyak orang

  •      Majas/ gaya bahsa   : ~ Hiperbola; “aku bisa memaki langit-lagit, gedung-gedung, mobil-mobil, orang-orang dari tingkat dan pangkat apapun juga”. Ayah menulis dalam buku hariannya yang padahal sebenarnya takut untuk mengunngkapkannya

                                    ~ Parabel; terdapat di sepanjang alur cerita. Majas                              Parabel merupakan ungkapan pelajaran atau nilai                                               tetapi dikiaskan atau disamarkan dalam cerita
                                    ~ Simbolis; “orang menyebut kemerdekaan sebagai                               lambang rasa hormat pada diri sendiri”


C.  Synopsis cerpen “Nasehat untuk Anakku”

            Cerita ini meceritakan awal dimana sang ayah bercerita masa-masa ketika ia menjalani hidup sebagai seorang penulis bersama temannya. Ketika itu gejolak sosial nyata dalam hidup ayah dan temannya. Kemerosotan status hidup dan gejolak sosial banyak terjadi yang menyebapkan hidup masyarakan semakin jatuh, bahkan lebih untuk seorang penulis.
            Terus ayah berusaha menuliskan dalam buku hariannya suatu ceita hidup yang menggambarkan kehidupan perjalannya. Kehidupan yang begitu menyulitkan bahkan karena kehidupan menjadi seorang penulis ini menyebapkan teman ayah bergumul keras dalam hidupnya dan memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan bunuh diri.
            Ayah terus berpesan kepada sang anak untuk menjadi yang lebih baik dari dirinya, jadilah seorang yang lebih itulah yang ayah harapkan untuk seorang anaknya. Jangan menjadi penulis! Itulah keinginan ayah untuk anaknya, anaknya harus menjadi orang yang bisa menghasilkan sesuatu untuk mencukupi kehidupannya kelak.
            Akhir cerita pun ayah terus berpesan kepada anaknya “Engkau memilih pilihan hidup ini sesuai dengan kemampuan pikiran dan tenaga mu, asal saja pilihan itu adalah pilihan yang benar, tidak merugikan masa depanmu dan masa depan banyak manusia”


Cerpen Nasehat untuk Anakku
Motinggo Busye

            Ketika engkau sudah bisa membaca nasehat ini, anakku, tentu keadaan dunia sudah banyak berubah. Mungkin engkau pada saat itu telah menjadi salah seorang calon penerbang ruang angkasa, dan tambang emas telah digali oleh orang Lampung, dan di dusun-dusun telah berkilauan lampu-lampu listrik dari neon, dan Irian Barat telah menjadi hak milik Indonesia. Pada waktu engkau membaca nasehatku ini, anakku, mungkin engkau tidak perlu lagi menunggu bis sampai tiga jam di Salemba, jalan dimana ayahmu dulu pernah menanti bis sampai tiga jam lebih di hujan dan di panas.
            Waktu itu ayahmu sangat lapar sekali, dan hari telah jam dua siang. Pagi harinya ayahmu belum sarapan, sebab keuangan tidak mengizinkan untuk makan tiga kali satu hari dan harga beras waktu itu dua puluh lima ribu satu kilo. Kau bayangkan, anakku, bis pertama muncul dalam keadaan penuh sesak, bis kedua yang datang kemudian juga penuh sesak sehingga orang-orang di dalam bis itu seperti ikan pepesan layaknya. Bis ketiga datang, yang terlambat setengah jam dari semestinya, karena lalu lintas terganggu oleh kecelakaan yang berhimpit kecelakaan. Menurut kabar ada seorang anak sekolah rakyat ditabrak oleh truk. Kemudian lalu lintas yang terganggu itu terganggu lagi oleh beberapa buah oto pemadam kebakaran lewat yang bunyinya meratap-ratap di jalan raya. Dan karena ratapannya itu, bis-bis, becak-becak, yang ditarik manusia dan mobil-mobil pembesar pun diharuskan berhenti lebih dulu. Ayah memaafkan hal itu, sebab pada waktu itu tiap-tiap orang haruslah memiliki kesabaran dan maaf atas segala kejadian yang menimpa atau tidak menimpa dirinya namun menimpa kepala orang lain.
            Tentu pada masa engkau membaca nasehatku ini, anakku, jalan-jalan sudah tak sempit lagi, bis-bis rakyat tentu sudah banyak, becak-becak pun Ayah kira sudah tak ditarik manusia lagi. Dan mungkin pula, tiap-tiap orang tidak perlu naik becak atau bis, tiap-tiap keluarga sudah punya mobil sendiri sebab tambang emas dan tambang-tambang lainnya sudah membikin makmur bangsamu.
            Pada hari ini, anakku, yaitu pada waktu ayahmu membikin nasehat ini, adalah suatu hari yang mulia buat diriku, karena pada hari inilah Ayah sempat merayakan ulang tahun yang kedua puluh lima.
            Kebetulan pada hari ini, redaktur tempat ayah mengirimkan karangan sangat baik hati. Dengan tanda tangannya di secarik kertas Ayah bisa pergi ke kantor majalah dan meminta uang honorarium karangan yang berjumlah duaratus rupiah. Biarpun nilai sebuah cerita pendek dimasa Ayah membikin nasehat ini cuma berharga beras delapan kilo, namun ayahmu tetap bergembira. Ayah bawa seorang teman ke sebuah warung kopi dan kami minum-minum disana.
            “Selamat ulang tahun,”kata teman Ayah.
            “Terima kasih,”jawabku.
            “Kita anggap saja kita sekarang ini sedang pesta. Pesanlah makanan dan minuman apa saja yang enak-enak, asal jangan melebihi dua ratus rupiah.”
            Teman Ayah tersenyum-senyum, tapi sebenarnya dia kelaparan. Dia pengarang juga, tetapi ia benar-benar pengarang yang menggantungkan leher dan perutnya serta kakinya yang dua itu kepada uang hasil karangan. Karena itu engkau jangan heran jika Ayah katakan kepadamu, bahwa temanku ini pernah dan sudah biasa tidak makan satu minggu. Untunglah dia belum beristri, belum berkekasih, dan beranak. Untunglah semua keluarganya membenci dia karena dia menjadi pengarang itu, karena keluarganya memang orang-orang realis yang menganggap para pengarang adalah pemburu-pemburu yang menembak rusa di satu lembah kelaparan. Tetapi temanku ini tetap tampak gembira, anakku, karena dengan sikap keluarganya itu, ia merasa tidak ada ikatan dengan satu orang pun di dunia ini. Pada waktu itu ayah kira dia adalah orang yang paling merdeka di dunia ini, biarpun kemerdekaan itu Cuma angan-angan saja. Tetapi waktu itu ayah berpikir demikian: Yang penting adalah manusia. Orang menyebut kemerdekaan sebagai lambang rasa hormat pada diri sendiri, suatu kepuasan duniawi yang menghauskan hatinya sampai mati. Aku sedih melihat manusia sekarang, kata Ayah dalam hati waktu itu, dan Ayah sambung pula dalam hati; karena itu aku bertambah pula mengasihi manusia.
            “Kapan bukumu terbit?” Tanya temanku itu.
            Ayah kaget dan cepat-cepat sadar, sebab waktu itu manusia-manusia sezaman Ayah harus lekas memutuskan sesuatu, sehingga antara kaget dan sadar hanya seperdua ratus detik saja beda waktunya.
            “Bukuku? Bulan Desember barangkali,” jawabku.
            “Apa rencanamu?” sambungnya.
            “Aku mau membeli sebuah arloji,” jawabku.
            “Arloji? Untuk apa arloji?
            “Dengan arloji sbenarnya orang bisa menghitung waktu.”
            “Kenapa harus meghitung waktu?” tanyanya.
            “Dengan menghitung waktu , orang tahu berapa jam lagi hari malam. Berapa jam lagi hari siang. Lama-lama iapun tahu berapa lama lagi ia akan bisa mempertahankan hidup,” kataku.
            Teman Ayahmu itu segera manuduhku telah gila. Tetapi dia Tanya lagi:
            “Apa lagi yang ingin kau beli?”
            “sebuah buku harian,” jawabku.
            “sebuah buku harian?”
            “Ya, sebuah buku harian. Sebuah buku harian lebih tinggi nilainya daripada arloji tadi. Dalam buku harian itu aku bisa menulis apa saja yang bisa kutulis. Apa saja bisa kutulis, dan aku takkan bisa didakwa atau ditangkap oleh tulisan itu. Aku bisa memaki langit-langit, gedung-gedung, mobil-mobil, orang-orang dari tingkat dan pangkat apa pun juga. Dengan buku harian itu aku kehilangan rasa cemas dan takut, aku merasa jauh lebih merdeka daripada kau, biarpun kemerdekaan itu kumiliki untuk, diriku sendiri saja,” kataku.
            “Apa lagi?”
            “Jangan memotong dulu,” kataku, “masih perlu disambung. Dalam buku harian itu bisa juga kucatat hutang dan piutangku, yaitu neraca ekonomi. Kalau tiap-tiap orang bisa mngatur perekonomian dirinya sendiri, ia berarti telah ikut menyumbang perekonomian negaranya, biarpun sumbangan itu Cuma sepersembilan puluh juta,” kataku.
            “Kau tentu bisa menjadi menteri perekonomian,” katanya.
            “Aku tentu bisa menjabat jabatan itu. Kalau aku jabat juga, maka ukurannya nanti disesuaikan dengan perekonomian semua orang. Tentu aku akan membeli Sembilan puluh juta arloji untuk semua orang di sini, dan Sembilan puluh juta buku harian dan Sembilan puluh juta pinsil atau pulpen. Aku tak mau jabatan itu, biarpun ditawarkan, karena aku merasa malu menjabat tugas yang aku sendiri sadar bahwa diriku amat bodoh untuk tugas itu.”
            Kawanku diam terpaku seperti disihir tukang sulap. Kemudian dia bertanya:
            “Apalagi yang akan kau beli?”
            “Kalau bisa masuk akal, akan kubeli salah satu planet yang ada di angkasa itu,” jawabku.
            Ia tertawa terkekeh-kekeh dan orang-orang sekeliling warung menontoni ketawanya. Ia seharusnya berhenti ketawa, tetapi ia ketawa terus. Ia ketawa seperti orang-orang yang betul ketawa.Ayahmu waktu itu yakin, bahwa ia sebetulnya bukan ketawa. Pada masa zaman Ayah membikin nasehat ini, anakku, banyak orang ketawa seperti temanku itu, berjuta-juta banyaknya. {> ayah merasa biasa walau sedikit terkesan bingung}
            Pada jam delapan malam tadi, malam hari ulang tahun ayahmu, ayah menerima kabar dari seseorang, bahwa teman ayah itu telah memotong nadinya dengan pisau silet. Hal itu amat memalukan sekali, sebab ada sepotong suratnya yang berbunyi: “Aku sudah malu padaMu, Tuhan, karena aku tidak menjalankan hidupku sebagai manusia yang wajar dan baik seperti yang Kamu firmankan.”
            Besok pagi Ayahmu bermaksud ikut menggali kubur untuk membenamkan mayat temanku itu ke dalam bumi ini. Buatku sendiri, kematiannya tak begitu meyedihkan, karena sudah lazim terjadi yang demikian itu di zamanku.
            Sebenarnya nasehat ini ,anakku, belum tentu ada, jika temenku itu tidak bunuh diri. Bunuh diri adalah sifat yang paling pengecut dan memalukan, anakku. Sekiranya engkau jadi penerbang ruang angkasa, sekiranya, dan penerbanganmu tiu gagal sehingga kau dilontarkan kekmbali ke bumi dalam keadaan selamat, janganlah engkau malu. Sekiranya engkau jadi supir truk dan karena sesuatu hal engkau melangar seseorang hingga mati, jangan kau lari atau bunuh diri, anakku. Sekiranya engkau insinyur kelak, dan kau bangunkan sebuah gedung yang miring, kau jangan tumbukkan kepalamu ke dinding gedung itu hingga hancur.
            Ayahmu yakin, pada waktu kau membaca nasehatku ini kau bisa jadi dan bisa kerja apa saja, anakku, Tetapi, janganlah kau bercita-cita jadi seorang pengarang macam aku ini.
            Mungkin sekali engkau pergi ke perpustakaan dan menemukan cerita pendek di mana teertulis nama Ayahmu, dan tergerak hatimu ingin berbuat yang sama.
            Aku mempunyai banyak alas an melarangmu, anakku. Tetapi hanya beberapa alas an yang bisa kusebutkan. Seorang pengearang yang baik selalu berusaha mencari kebenaran. Ide sebuah cerita yang ditulisnya harusklah berdasarkan kebenaran. Tetapi kadang-kadang kebenaran dikalahkan oleh kenyataan, dan pada saat itulah para pengarang diuji. Suatu kenyataan mungkin tidak benar, anakku. Karena itu ia harus berani disalib atau digantung untuk suatu kebenaran.
            Ayahmu merasa ganjil, karena sebagai pengarang, Cuma membtuhkan dua macam benda, yaitu sebuah arloji dan buku harian. Tetapi Ayahmu merasa bangga, sebab dengan dua buah benda itu ayahmu dapat membuktikan kebenaran itu. Kebenaran yang dianutnya.
            “Aku mau tahu di mana arloji itu sekarang. Itu benda bersejarah buatku, aku ingin mendapatkannya,” katamu.
            “Sayang, anakku,” jawab ayahmu.
            “Kenapa?” tanyamu.
            “Arloji itu telah kugadaikan untuk pembeli buku harian yang baru, sebab buku harian yang lama-lama sudah penuh semuanya.”
            “Tentu sudah tidak bisa diambil lagi,” katamu.
            “Ya, ya. Tentu sudah kadaluarsa. Tapi kalau kau punya uang kau bisa membelinya di toko-toko,” kataku.
            “Dan buku harian itu, apakah isinya?”
            “Macam,-macam, diantaranya: kebenaran. Tetapi buku harianku itu tidak bis digadaikan, dan yang kau baca ini adalah kutipan dari lembaran-lembaran buku harian itu, yang bertanggal dua puluh satu Nopember, tepat pada hari ulang tahunku yang kedua puluh lima.”
            Anakku yang tercinta. Kalau kuakhiri nasehatku-nasehatku ini, pada waktu ini engkau belum ada. Tambang emas itu pun belum dibuka. Tetapi aku punya usul; bagaimana kalau kau berusaha untuk menjadi insinyur pertambngan saja? Tetapi jangan marah, anakku, ini Cuma usul saja. Engkau memilih pilihan hidup ini sesuai denga kemampuan pikiran dan tenagamu, asal saja pilihan itu adalah pilihan yang benar: tidak merugikan masa depanmu dan masa depan banyak manusia.

Keterangan warna:

Merah; Latar/ Setting
Biru; Penokohan
Orange; Majas/ Gaya bahasa