TUGAS BAHASA INDONESIA
KELOMPOK
XII IPA 2
ACHMAD ADI SETIAJI
MUTIARA YUSNITA
RIADHAH
SOFYAN NUR AMIN
TAMILIA SEPTIA SARI
YERRIO DARIUS RAOLIKA
Unsur-unsur Instrinsik dalam Cerpen
“Nasehat untuk Anakku”
Karya Motinggo Busye
A. Analisis
pendekatan mimetik cerpen “Nasehat untuk
Anakku”
Dalam
cerpen Nasehat untuk Anakku karya Motinggo Busye, karakter yang
digambarkan begitu natural, yaitu antara karakter ayah dan teman ayah. Karakter
ayah menginginkan kehidupan anaknya menjadi lebih baik dan tidak mengikuti
jejak sang ayah yang hanya seorang pengarang karena setiap orang tua pasti
menginginkan anaknya menjadi lebih baik. Sedangkan karakter teman ayah
digambarkan secara kompleks dan kehidupannya tercermin pada masyarakat sekarang
ini pada umumnya. Kawan ayah dari sisi luar telihat sebagai sosok yang kuat
karena mampu mengikuti kata hati walaupun pada saat itu orang-orang dekat
menentang. Namun ternyata kawan ayah ini mengakhiri hidupnya dengan tangannya sendiri,
padahal sangat jelas bahwa kawan ayah ini begitu meyakini keberadaan Tuhan.
Tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh teman ayah sangat bertentangan dengan
kenyataan yang dipaparkan tentang dirinya.
Keadaan yang
cenderung labil menyebabkan beberapa persoalan di masyarakat tertuang dalam
cerpen ini, di antaranya ketika dialog sang ayah saat memeparkan alasan untuk
membeli arloji.
“Dengan
menghitung waktu, orang tahu berapa jam lagi hari malam. Berapa jam lagi hari
siang. Lama-lama ia pun tahu, berapa lama lagi ia akan bisa mempertahankan
hidup,” kataku.
Keadaan
republik yang belum merdeka ternyata belum kondusif karena pada saat
itu, para pejabat tidak menjalankan tugas, masyarakat tidak bebas mengeluarkan
pendapat, dan sumber daya alam yang tidak maksimal dikelola. Keadaan tersebut
membuat masyarakat merasa tertekan walaupunmereka terlihat begitu tegar dan
percaya pada Tuhan. Manusia pada masa itu banyak yang menyerah pada keadaan dan
mengakhiri hidupnya sendiri. Hal ini tercantum dalam kutipan.
"Buatku
sendiri, kematiannya tak begitu menyedihkan, karena sudah lazim yang terjadi
yang demikian di zamanku.”
B. Unsur
Instrinsik cerpen “Nasehat untuk Anakku”
- Tema : Kegigihan dan Keikhlasan untuk Menjadi yang Lebih Baik
- Latar/ Setting
- Latar tempat : ~ dijalan; Ayah menunggu bis
~ disebuah
warung kopi; merayakan ulang
tahun
~ dipemakaman;
dimana Ayah menguburkan temannya
- Latar waktu : ~ pagi hari hingga jam 2 siang, Ayah belum makan
~ pagi,
saat menguburkan teman Ayah
~ malam
jam 8, ketika teman Ayah bunuh diri
~ tertanda
tanggal dalam cerpen yakni tanggal
21 ketika Ayah berulang tahun yang ke 25,
dan Ayah menulis nasehat ini dalam buku hariannya
- Latar suasana : ~ penuh sesak; ketika didalam sebuah bis
~ gembira;
pada hari ulang tahun Ayah
~ bingung;
ketika Ayah ditertawakan
~ kaget;
ketika teman Ayah bunuh diri
~ selanjutnya merupakan alur cerita yang mengesankan
dan mengharukan
- Alur : dalam cerpen ini alur yang digunakan adalah alur maju mundur (campuran)
Flashback (penceritaan zaman dahulu dan terkadang menggambarkan waktu saat ini)
- Penokohan : ~ Ayah: Sabar, menerima apa yang ada padanya dan bersyukur atas takdirnya, sosok Ayah yang sangat saying pada anaknya, dan perhatian sarta pengertian.
~ Teman
Ayah: Awalnya dia sosok yang gigih, penuh semangat,
tapi keadaan membuat dia putus asa dan bahkan bunuh
diri (bdk. Lembaran kedua sampai ketiga pada cerpen)
~ Redaktur:
Pada lembar pertama jelas disebutkan bahwa sifat
dari Redaktur tempat Ayah mengirimkan karangan sangat
baik hati
~ Anak:
Anak dalam cerpen ini tidak digambarkan bahkan tidak
ikut berperan, karena cerpen ini menceritakan suatu pengalaman Ayah yang ingin diceritakan kepasa
sang Anak
- Sudut pandang : jika kita cermati penerangan tokoh didalam cerpen ini maka sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang orang pertama pelaku utama
- Amanat : ~ Syukuri apa yang ada dan jalanilah takdirmu dengan kegigihan dan ketabahan
~
Jangan mudah berputus asa, lakukanlah apa
yang ingin kau kerjakan dengan
kesungguhan hati
~ Pilihlah pilihan hidup ini sesuai dengan
kemampuan pikiran dan tenaga kita, asalkan
pilihan itu adalah pilihan
yang benar, tidak merugikan masa depan mu dan
masa depan banyak orang
- Majas/ gaya bahsa : ~ Hiperbola; “aku bisa memaki langit-lagit, gedung-gedung, mobil-mobil, orang-orang dari tingkat dan pangkat apapun juga”. Ayah menulis dalam buku hariannya yang padahal sebenarnya takut untuk mengunngkapkannya
~ Parabel; terdapat di sepanjang
alur cerita. Majas Parabel merupakan ungkapan pelajaran atau
nilai tetapi dikiaskan atau disamarkan
dalam cerita
~ Simbolis; “orang menyebut
kemerdekaan sebagai lambang
rasa hormat pada diri sendiri”
C. Synopsis cerpen “Nasehat untuk Anakku”
Cerita ini meceritakan awal dimana
sang ayah bercerita masa-masa ketika ia menjalani hidup sebagai seorang penulis
bersama temannya. Ketika itu gejolak sosial nyata dalam hidup ayah dan
temannya. Kemerosotan status hidup dan gejolak sosial banyak terjadi yang
menyebapkan hidup masyarakan semakin jatuh, bahkan lebih untuk seorang penulis.
Terus ayah berusaha menuliskan dalam
buku hariannya suatu ceita hidup yang menggambarkan kehidupan perjalannya.
Kehidupan yang begitu menyulitkan bahkan karena kehidupan menjadi seorang
penulis ini menyebapkan teman ayah bergumul keras dalam hidupnya dan memutuskan
untuk mengakhiri hidup dengan bunuh diri.
Ayah terus berpesan kepada sang anak
untuk menjadi yang lebih baik dari dirinya, jadilah seorang yang lebih itulah
yang ayah harapkan untuk seorang anaknya. Jangan menjadi penulis! Itulah
keinginan ayah untuk anaknya, anaknya harus menjadi orang yang bisa menghasilkan
sesuatu untuk mencukupi kehidupannya kelak.
Akhir cerita pun ayah terus berpesan
kepada anaknya “Engkau memilih pilihan hidup ini sesuai dengan kemampuan
pikiran dan tenaga mu, asal saja pilihan itu adalah pilihan yang benar, tidak
merugikan masa depanmu dan masa depan banyak manusia”
Cerpen Nasehat untuk Anakku
Motinggo Busye
Ketika engkau sudah bisa membaca nasehat ini, anakku, tentu
keadaan dunia sudah banyak berubah. Mungkin engkau pada saat itu telah menjadi
salah seorang calon penerbang ruang angkasa, dan tambang emas telah digali oleh
orang Lampung, dan di dusun-dusun telah berkilauan lampu-lampu listrik dari
neon, dan Irian Barat telah menjadi hak milik Indonesia. Pada waktu engkau
membaca nasehatku ini, anakku, mungkin engkau tidak perlu lagi menunggu bis
sampai tiga jam di Salemba, jalan dimana ayahmu dulu pernah menanti bis sampai
tiga jam lebih di hujan dan di panas.
Waktu itu ayahmu sangat lapar sekali, dan hari telah jam dua siang. Pagi harinya ayahmu belum sarapan, sebab keuangan tidak
mengizinkan untuk makan tiga kali satu hari dan harga beras waktu itu dua puluh
lima ribu satu kilo. Kau bayangkan, anakku, bis pertama muncul dalam keadaan penuh sesak, bis kedua
yang datang kemudian juga penuh sesak sehingga orang-orang di dalam bis itu seperti
ikan pepesan layaknya. Bis ketiga datang, yang terlambat setengah jam dari
semestinya, karena lalu lintas terganggu oleh kecelakaan yang berhimpit
kecelakaan. Menurut kabar ada seorang anak sekolah rakyat ditabrak oleh truk.
Kemudian lalu lintas yang terganggu itu terganggu lagi oleh beberapa buah oto
pemadam kebakaran lewat yang bunyinya meratap-ratap di jalan raya.
Dan karena ratapannya itu, bis-bis, becak-becak, yang ditarik manusia dan
mobil-mobil pembesar pun diharuskan berhenti lebih dulu. Ayah memaafkan hal
itu, sebab pada waktu itu tiap-tiap orang haruslah memiliki kesabaran dan maaf
atas segala kejadian yang menimpa atau tidak menimpa dirinya namun menimpa
kepala orang lain.
Tentu pada masa engkau
membaca nasehatku ini, anakku, jalan-jalan sudah tak sempit lagi, bis-bis
rakyat tentu sudah banyak, becak-becak pun Ayah kira sudah tak ditarik manusia
lagi. Dan mungkin pula, tiap-tiap orang tidak perlu naik becak atau bis,
tiap-tiap keluarga sudah punya mobil sendiri sebab tambang emas dan
tambang-tambang lainnya sudah membikin makmur bangsamu.
Pada hari ini, anakku, yaitu
pada waktu ayahmu membikin nasehat ini, adalah suatu hari yang mulia buat
diriku, karena pada hari inilah Ayah sempat merayakan ulang tahun yang kedua
puluh lima.
Kebetulan pada hari ini, redaktur tempat ayah
mengirimkan karangan sangat baik hati. Dengan tanda tangannya di secarik kertas
Ayah bisa pergi ke kantor majalah dan meminta uang honorarium karangan yang
berjumlah duaratus rupiah. Biarpun nilai sebuah cerita pendek dimasa Ayah
membikin nasehat ini cuma berharga beras delapan kilo, namun ayahmu tetap bergembira. Ayah bawa seorang teman ke sebuah warung kopi dan kami minum-minum disana.
“Selamat ulang tahun,”kata
teman Ayah.
“Terima kasih,”jawabku.
“Kita anggap saja kita
sekarang ini sedang pesta. Pesanlah makanan dan minuman apa saja yang
enak-enak, asal jangan melebihi dua ratus rupiah.”
Teman Ayah tersenyum-senyum, tapi sebenarnya
dia kelaparan. Dia pengarang juga, tetapi ia benar-benar pengarang yang
menggantungkan leher dan perutnya serta kakinya yang dua itu kepada uang hasil
karangan. Karena itu engkau jangan heran jika Ayah katakan kepadamu, bahwa
temanku ini pernah dan sudah biasa tidak makan satu minggu. Untunglah dia belum
beristri, belum berkekasih, dan beranak. Untunglah semua keluarganya membenci
dia karena dia menjadi pengarang itu, karena keluarganya memang orang-orang
realis yang menganggap para pengarang adalah pemburu-pemburu yang menembak rusa
di satu lembah kelaparan. Tetapi temanku ini tetap tampak gembira, anakku,
karena dengan sikap keluarganya itu, ia merasa tidak ada ikatan dengan satu
orang pun di dunia ini. Pada waktu itu ayah kira dia adalah orang yang paling
merdeka di dunia ini, biarpun kemerdekaan itu Cuma angan-angan saja. Tetapi
waktu itu ayah berpikir demikian: Yang penting adalah manusia. Orang menyebut kemerdekaan sebagai lambang rasa hormat pada diri sendiri, suatu
kepuasan duniawi yang menghauskan hatinya sampai mati. Aku sedih melihat manusia sekarang, kata Ayah
dalam hati waktu itu, dan Ayah sambung pula dalam hati; karena itu aku
bertambah pula mengasihi manusia.
“Kapan
bukumu terbit?” Tanya temanku itu.
Ayah
kaget dan cepat-cepat sadar, sebab waktu itu manusia-manusia sezaman Ayah harus
lekas memutuskan sesuatu, sehingga antara kaget dan sadar hanya seperdua ratus
detik saja beda waktunya.
“Bukuku?
Bulan Desember barangkali,” jawabku.
“Apa
rencanamu?” sambungnya.
“Aku mau membeli sebuah arloji,” jawabku.
“Arloji? Untuk apa arloji?
“Dengan arloji sbenarnya orang bisa menghitung
waktu.”
“Kenapa harus meghitung waktu?” tanyanya.
“Dengan menghitung waktu , orang tahu berapa
jam lagi hari malam. Berapa jam lagi hari siang. Lama-lama iapun tahu berapa
lama lagi ia akan bisa mempertahankan hidup,” kataku.
Teman Ayahmu itu segera manuduhku telah gila.
Tetapi dia Tanya lagi:
“Apa lagi yang ingin kau beli?”
“sebuah buku harian,” jawabku.
“sebuah buku harian?”
“Ya,
sebuah buku harian. Sebuah buku harian lebih tinggi nilainya daripada arloji
tadi. Dalam buku harian itu aku bisa menulis apa saja yang bisa kutulis. Apa
saja bisa kutulis, dan aku takkan bisa didakwa atau ditangkap oleh tulisan itu. Aku bisa memaki langit-langit, gedung-gedung,
mobil-mobil, orang-orang dari tingkat dan pangkat apa pun juga.
Dengan buku harian itu aku kehilangan rasa cemas dan takut, aku merasa jauh
lebih merdeka daripada kau, biarpun kemerdekaan itu kumiliki untuk, diriku
sendiri saja,” kataku.
“Apa
lagi?”
“Jangan
memotong dulu,” kataku, “masih perlu disambung. Dalam buku harian itu bisa juga
kucatat hutang dan piutangku, yaitu neraca ekonomi. Kalau tiap-tiap orang bisa
mngatur perekonomian dirinya sendiri, ia berarti telah ikut menyumbang
perekonomian negaranya, biarpun sumbangan itu Cuma sepersembilan puluh juta,”
kataku.
“Kau
tentu bisa menjadi menteri perekonomian,” katanya.
“Aku
tentu bisa menjabat jabatan itu. Kalau aku jabat juga, maka ukurannya nanti
disesuaikan dengan perekonomian semua orang. Tentu aku akan membeli Sembilan
puluh juta arloji untuk semua orang di sini, dan Sembilan puluh juta buku
harian dan Sembilan puluh juta pinsil atau pulpen. Aku tak mau jabatan itu,
biarpun ditawarkan, karena aku merasa malu menjabat tugas yang aku sendiri
sadar bahwa diriku amat bodoh untuk tugas itu.”
Kawanku
diam terpaku seperti disihir tukang sulap. Kemudian dia bertanya:
“Apalagi
yang akan kau beli?”
“Kalau
bisa masuk akal, akan kubeli salah satu planet yang ada di angkasa itu,”
jawabku.
Ia tertawa terkekeh-kekeh dan orang-orang
sekeliling warung menontoni ketawanya. Ia seharusnya berhenti ketawa, tetapi ia
ketawa terus. Ia ketawa seperti orang-orang yang betul ketawa.Ayahmu waktu itu
yakin, bahwa ia sebetulnya bukan ketawa. Pada masa zaman Ayah membikin nasehat
ini, anakku, banyak orang ketawa seperti temanku itu, berjuta-juta banyaknya. {>
ayah merasa biasa walau sedikit terkesan bingung}
Pada jam
delapan malam tadi,
malam hari ulang tahun ayahmu, ayah menerima kabar dari seseorang, bahwa teman
ayah itu telah memotong nadinya dengan pisau silet. Hal itu amat memalukan
sekali, sebab ada sepotong suratnya yang berbunyi: “Aku sudah malu padaMu,
Tuhan, karena aku tidak menjalankan hidupku sebagai manusia yang wajar dan baik
seperti yang Kamu firmankan.”
Besok pagi Ayahmu bermaksud ikut menggali kubur untuk
membenamkan mayat temanku itu ke dalam bumi ini. Buatku sendiri, kematiannya tak begitu meyedihkan, karena
sudah lazim terjadi yang demikian itu di zamanku.
Sebenarnya
nasehat ini ,anakku, belum tentu ada, jika temenku itu tidak bunuh diri. Bunuh
diri adalah sifat yang paling pengecut dan memalukan, anakku. Sekiranya engkau jadi penerbang ruang angkasa, sekiranya,
dan penerbanganmu tiu gagal sehingga kau dilontarkan kekmbali ke bumi dalam keadaan selamat, janganlah engkau malu.
Sekiranya engkau jadi supir truk dan karena sesuatu hal engkau melangar seseorang hingga mati, jangan
kau lari atau bunuh diri, anakku. Sekiranya engkau insinyur kelak, dan kau bangunkan sebuah gedung yang miring, kau
jangan tumbukkan kepalamu ke dinding gedung itu hingga hancur.
Ayahmu yakin, pada waktu kau
membaca nasehatku ini kau bisa jadi dan bisa kerja apa saja, anakku, Tetapi,
janganlah kau bercita-cita jadi seorang pengarang macam aku ini.
Mungkin sekali engkau pergi
ke perpustakaan dan menemukan cerita pendek di mana teertulis nama Ayahmu, dan
tergerak hatimu ingin berbuat yang sama.
Aku mempunyai banyak alas an melarangmu,
anakku. Tetapi hanya beberapa alas an yang bisa kusebutkan. Seorang pengearang
yang baik selalu berusaha mencari kebenaran. Ide sebuah cerita yang ditulisnya
harusklah berdasarkan kebenaran. Tetapi kadang-kadang kebenaran dikalahkan oleh
kenyataan, dan pada saat itulah para pengarang diuji. Suatu kenyataan mungkin
tidak benar, anakku. Karena itu ia harus berani disalib atau digantung untuk
suatu kebenaran.
Ayahmu merasa ganjil, karena
sebagai pengarang, Cuma membtuhkan dua macam benda, yaitu sebuah arloji dan
buku harian. Tetapi Ayahmu merasa bangga, sebab dengan dua
buah benda itu ayahmu dapat membuktikan kebenaran itu. Kebenaran yang
dianutnya.
“Aku mau tahu di mana arloji
itu sekarang. Itu benda bersejarah buatku, aku ingin mendapatkannya,” katamu.
“Sayang, anakku,” jawab
ayahmu.
“Kenapa?” tanyamu.
“Arloji itu telah kugadaikan
untuk pembeli buku harian yang baru, sebab buku harian yang lama-lama sudah
penuh semuanya.”
“Tentu sudah tidak bisa
diambil lagi,” katamu.
“Ya, ya. Tentu sudah
kadaluarsa. Tapi kalau kau punya uang kau bisa membelinya di toko-toko,”
kataku.
“Dan buku harian itu, apakah
isinya?”
“Macam,-macam, diantaranya:
kebenaran. Tetapi buku harianku itu tidak bis digadaikan, dan yang kau baca ini
adalah kutipan dari lembaran-lembaran buku harian itu,
yang bertanggal dua puluh satu Nopember, tepat pada hari ulang tahunku yang
kedua puluh lima.”
Anakku yang tercinta. Kalau kuakhiri
nasehatku-nasehatku ini, pada waktu ini engkau belum ada. Tambang emas itu pun
belum dibuka. Tetapi aku punya usul; bagaimana kalau kau berusaha untuk menjadi
insinyur pertambngan saja? Tetapi jangan marah, anakku, ini Cuma usul saja.
Engkau memilih pilihan hidup ini sesuai denga kemampuan pikiran dan tenagamu,
asal saja pilihan itu adalah pilihan yang benar: tidak merugikan masa depanmu
dan masa depan banyak manusia.
Keterangan warna:
Merah; Latar/ Setting
Biru;
Penokohan
Orange; Majas/ Gaya bahasa